Senin, 15 Februari 2016
STATUS ANAK DI LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
Status Anak di luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam
Ditulis oleh: HERIZAL, S. Ag (Penghulu Pada KUA Kecamatan Depati Tujuh)
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Jika diteliti secara mendalam, Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam Hukum Perdata Umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah ( anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah :
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut
Juga dikenal anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa
“ anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya ”.
Disamping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam :
“Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir “
Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi
“keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut”
Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak Li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahikan isterinya).
Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa
" anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah . "
Yang termasuk dalam kategori Pasal ini adalah :
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu perkawinan yang sah.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak di ingkari kelahirannya oleh suami.
Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak diluar nikah” akan diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera didalam kitab fiqh, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam Pasal- Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminology anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah.
Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.
Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun belum menikah.
Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus didalamnya.
Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus sekaligus untuk menunjukan identitas islam tidak mengenal adanya dosa warisan.
Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian , Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat dari perbuatan zina tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn diatas, adalah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah” sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa
“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”
Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.
Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau keduanya terikat tali perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak diluar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata umum adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.
Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut Hukum Perdata adalah :
Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak zina.
Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka,perawan,duda,janda) mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak luar kawin.
Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan Pasal 100 KHI, adalah :
“ anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah :
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li’an (diingkari) oleh suaminya.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan.
4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan.
Angka 4 dan 5 diatas dalam hukum Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui oleh bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya.
B. Akibat Hukum
Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan sebagaimana disebutkan diatas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya (genetiknya), yaitu :
Hubungan Nasab
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
Hal demikian secara hukum anak tersebut saama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu .
Hak Perwalian
Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar perkawinan)tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali niksahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam :
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh.
Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.
C. Kesimpulan
Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah “anak zina” tetapi mengenal istilah “anak yang lahir diluar perkawinan” yang statusnya sama dengan anak hasil hubungan suami isteri antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat tali perkawinan yang sah, yang meliputi anak yang lahir dari wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya, atau anak syubhat kecuali diakui oleh bapak syubhatnya.
Anak yang lahir diluar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya) begitu juga ayah/bapak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan.
Jika anak yang lahir diluar perkawinan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah Wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali nasab.
Apakah Anak di Luar Nikah Bapaknya Tidak Boleh Jadi Wali?
Konsekuensi lainnya adalah tidak sahnya ayah menjadi wali atas anak wanitanya itu dalam pernikahan. Demikian juga kakek, paman dan saudaranya, tidak ada satu pun yang sah untuk menjadi wali atasnya.
Padahal, adanya wali menjadi rukun pokok atas sebuah akad nikah. Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali, yaitu ayah kandung yang sah secara syar'i.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali." (HR Ahmad dan Empat)
Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi." (HR Ahmad).
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya.
Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali." (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah )
H Mawardi AS
Ketua MUI Lampung (eka)
Daftar Bacaan
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan, Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah (Jakarta : Kencana Mas, 2005)
Asy’ari Abd. Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil (Jakarta: Andes Utama, 1987)
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Harapan dan Prospeknya ( Jakarta : Gema Insani Pers, 1966)
Hasanayn Muhammad Makluf, Al – Mawarits fi Al- Syari’at al- Islamiyya, Matba’ al- Madaniy, ( t. tp: 1996)
H. Abdul Manan, Prof. DR. SH. SIP. M. Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet Ke-2 (Jakarta : Kencana Mas : 2008)
Hasan Al Faraidh ( Surabaya, Pustaka Progresif, 1979)
J. Satrio, Hukum Waris ( Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1990)
M. Al Hasan, Masail Fiqhiyyah Al Haditsah Pada Masalah – Masalah Kontemporer Hukum Islam ( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996)
Sayyid Tsabiq, Fiqh Al Sunnah, Jilid II ( Beirut : Dar Al Fiqri: 1980)
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia ( Bandung ; Sumur, 1976)
Nasehat diri
Ditulis kembali oleh nieniet sapphire
Semoga bermanfaat
Rabu, 10 Februari 2016
JANGAN PISAHKAN AKU DENGAN ANAK KU ( 2 ) ...
= MEMISAHKAN IBU DENGAN ANAKNYA YANG SUDAH BESAR =
Hukum memisahkan ibu dengan anaknya yang sudah besar ,
Ada dua pendapat dalam hal ini :
Pendapat pertama :
Memisahkan ibu dengan anaknya yang sudah besar itu boleh .
Demikian pendapat sebagian besar ahlul ilmi. Inilah mazhab Hanafiyah , Malikiyah , Syafi'iyah , dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad .
Rasullullah SAW memberi rentang waktu pelarangan pemisahan sampai mencapai usia baligh.
Maka hal ini menunjukkan pengkhususan makruh pada saat anak masih kecil , dan ketentuan itu hilang ketika anak mencapai usia baligh.
Orang merdeka pd umumnya berpisah dengan ibu setelah dewasa. Ibu tentu akan menikahkan putrinya . Dan ini berlaku bagi orang merdeka , sehingga bagi budak lebih ditekankan lagi .
Larangan memisah ibu dan anak disebabkan karena alasan membahayakan, alasan ini hanya berlaku si anak masih kecil .
Memisahkan ibu dengan anaknya yang sudah besar boleh hukumnya , karena pemisahan ini tdk tertera dlm makna nash yang melarang. Karena hukum asalnya tidak sesuai dengan qiyas.
Pendapat ke dua :
Memisahkan ibu dan anak yg sdh besar haram hukumnya .
Pendapat ini merupakan riwayat ke dua Imam Ahmad . Dan inilah mazhab Hanabillah .
Hadits-hadits sebelumnya , secara umum melarang pemisahan antara ibu dan anak .
Ibu akan dirugikan ketika dipisahkan dengan anaknya yg sudah besar.
Oleh karena itu, anak haram pergi berjihad tanpa izin ibu .
Alasan lain yg memperkuat pendapat ini ;
Kadang ibu perlu dipisahkan dgn anaknya yg sdh besar ketika tertawan , atau ketika diperjualkan ( sbg budak ).
Dengan demikian untuk anak yang sdh besar tetap mengacu pada hukum asal ;
Boleh ( dipisahkan dengan ibunya ) .
Nasehat bagi diriku .
Semoga bermanfaat , Aamiin Aamiin YRA .
Dari : Fikih Ummahat
Himpunan Hukum Islam
Khusus Ibu .
JANGAN PISAHKAN AKU DENGAN ANAK KU ( I ) ...
MEMISAHKAN IBU DENGAN ANAKNYA YANG MASIH KECIL Ulama sepakat ,
Memisahkan ibu dan anaknya yqng masih kecil hukumnya tidak boleh . ( Al-Ijma, ibnu mundzir,
Hal.61, Al-Mabsuth: 13/139 )
1. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari,
Ia menuturkan , " Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda , Allah akan memisahkankannya dengan orang-orang yang ia cintai pada hari kiamat .
2. Diriwayatkan dari Abu Musa , ia berkata , " Rasulullah SAW melaknat orang yang memisahkan antara ibu dan anaknya " . ( HR Ibnu Majah didlm sunannya)
3. Diriwayatkan dari Abu Bakar , Rasulullah SAW bersabda , " Janganlah seorang ibu dibuat sedih ( karena dipisahkan ) dengan anaknya "
4. Masa kanak-kanak merupakan salah satu sebab timbulnya kasih sayang . Rasulullah SAW bersabda , " Siapa yang tidak menyayangi anak kecil diantara kami dan tidak mengetahui hak orang besar diantara kami , ia bukan golongan kami "
Memisahkan ibu dengan anak artinya mengabaikan kasih sayang. Karena itu makruh hukumnya . ( Bada'i Ash-Shana'i : 5/229 )
Dalil berikut juga bisa memperkuat pendapat ini , bahwa memisahkan ibu dengan anak akan membahayakan keduanya .
Dan segala tindakan yang membahayakan hukumnya terlarang menurut syariat .
Langganan:
Komentar (Atom)


