Senin, 15 Februari 2016

STATUS ANAK DI LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM


 Status Anak di luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam



Ditulis oleh: HERIZAL, S. Ag (Penghulu Pada KUA Kecamatan Depati Tujuh)

A. Pengertian dan Dasar Hukum

Jika diteliti secara mendalam, Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam Hukum Perdata Umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah ( anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah :

Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut
Juga dikenal anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa
 “ anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya ”.

Disamping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam :

“Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir “

Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi

“keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut”

Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak Li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahikan isterinya).

 Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa

 " anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah . "

Yang termasuk dalam kategori Pasal ini adalah :

1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu perkawinan yang sah.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak di ingkari kelahirannya oleh suami.

Karena itu untuk mendekatkan pengertian  “anak diluar nikah” akan diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera didalam kitab fiqh, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam Pasal- Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminology anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah.

Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.

Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun belum menikah.

Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus didalamnya.

Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus sekaligus untuk menunjukan identitas islam tidak mengenal adanya dosa warisan.

Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian , Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat dari perbuatan zina tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn diatas, adalah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah” sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa

“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”

Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.

Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau keduanya terikat tali perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak diluar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata umum adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.

Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut Hukum Perdata adalah :

Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak zina.

Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka,perawan,duda,janda) mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah anak luar kawin.

Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan Pasal 100 KHI, adalah :

“ anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah :

1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.

2. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.

3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li’an (diingkari) oleh suaminya.

3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka) disangka suaminya ternyata bukan.

4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan.

Angka 4 dan 5 diatas dalam hukum Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui oleh bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya.


B. Akibat Hukum

Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan sebagaimana disebutkan diatas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya (genetiknya), yaitu :

Hubungan Nasab

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.

Hal demikian secara hukum anak tersebut saama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.

Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu .


Hak Perwalian
Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar perkawinan)tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali niksahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam :

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh.
Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.


C.   Kesimpulan

Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah “anak zina” tetapi mengenal istilah “anak yang lahir diluar perkawinan” yang statusnya sama dengan anak hasil hubungan suami isteri antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat tali perkawinan yang sah, yang meliputi anak yang lahir dari wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya, atau anak syubhat kecuali diakui oleh bapak syubhatnya.
Anak yang lahir diluar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya) begitu juga ayah/bapak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan.
Jika anak yang lahir diluar perkawinan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah Wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali nasab.



Apakah Anak di Luar Nikah Bapaknya Tidak Boleh Jadi Wali? 

Konsekuensi lainnya adalah tidak sahnya ayah menjadi wali atas anak wanitanya itu dalam pernikahan. Demikian juga kakek, paman dan saudaranya, tidak ada satu pun yang sah untuk menjadi wali atasnya.
Padahal, adanya wali menjadi rukun pokok atas sebuah akad nikah. Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali, yaitu ayah kandung yang sah secara syar'i.  

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : 

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali." (HR Ahmad dan Empat) 

Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an, "Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi." (HR Ahmad). 

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. 

Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali." (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah )


H Mawardi AS
Ketua MUI Lampung (eka) 

Daftar Bacaan

Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan, Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah (Jakarta : Kencana Mas, 2005)
Asy’ari Abd. Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil (Jakarta: Andes Utama, 1987)
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Harapan dan Prospeknya ( Jakarta : Gema Insani Pers, 1966)
Hasanayn Muhammad Makluf, Al – Mawarits fi Al- Syari’at al- Islamiyya, Matba’ al- Madaniy, ( t. tp: 1996)
H. Abdul Manan, Prof. DR. SH. SIP. M. Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet Ke-2 (Jakarta : Kencana Mas : 2008)
Hasan Al Faraidh ( Surabaya, Pustaka Progresif, 1979)
J. Satrio, Hukum Waris ( Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1990)
M. Al Hasan, Masail Fiqhiyyah Al Haditsah Pada Masalah – Masalah Kontemporer Hukum Islam ( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996)
 Sayyid Tsabiq, Fiqh Al Sunnah, Jilid II ( Beirut : Dar Al Fiqri: 1980)
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia ( Bandung ; Sumur, 1976)

Nasehat diri 

Ditulis kembali oleh nieniet sapphire

Semoga bermanfaat

Rabu, 10 Februari 2016

JANGAN PISAHKAN AKU DENGAN ANAK KU ( 2 ) ...



= MEMISAHKAN IBU DENGAN ANAKNYA YANG SUDAH BESAR  = 


Hukum memisahkan ibu dengan anaknya yang sudah besar , 
Ada dua pendapat dalam hal ini  : 


Pendapat pertama  : 

Memisahkan ibu dengan anaknya yang sudah besar itu boleh . 

Demikian pendapat sebagian besar ahlul ilmi. Inilah mazhab Hanafiyah , Malikiyah , Syafi'iyah , dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad . 

Rasullullah SAW memberi rentang waktu pelarangan pemisahan sampai mencapai usia baligh. 
Maka hal ini menunjukkan pengkhususan makruh pada saat anak masih kecil , dan ketentuan itu hilang ketika anak mencapai usia baligh.  

Orang merdeka pd umumnya berpisah dengan ibu setelah dewasa. Ibu tentu akan menikahkan putrinya . Dan ini berlaku bagi orang merdeka , sehingga bagi budak lebih ditekankan lagi .

Larangan memisah ibu dan anak disebabkan karena alasan membahayakan, alasan ini hanya berlaku si anak masih kecil . 

Memisahkan ibu dengan anaknya yang sudah besar boleh hukumnya , karena pemisahan ini tdk tertera dlm makna nash yang melarang. Karena hukum asalnya tidak sesuai dengan qiyas. 

Pendapat ke dua  : 

Memisahkan ibu dan anak yg sdh besar haram hukumnya  . 
Pendapat ini merupakan riwayat ke dua Imam Ahmad . Dan inilah mazhab Hanabillah .

Hadits-hadits sebelumnya , secara umum melarang pemisahan antara ibu dan anak .

Ibu akan dirugikan ketika dipisahkan dengan anaknya yg sudah besar.
Oleh karena itu, anak haram pergi berjihad tanpa izin ibu .

Alasan lain  yg memperkuat pendapat ini  ; 

Kadang ibu perlu dipisahkan dgn anaknya yg sdh besar ketika tertawan , atau ketika diperjualkan ( sbg budak ). 

Dengan demikian untuk anak yang sdh besar tetap mengacu pada hukum asal ; 
Boleh  ( dipisahkan dengan ibunya ) . 


Nasehat bagi diriku . 
Semoga bermanfaat  , Aamiin Aamiin YRA .

Dari : Fikih Ummahat 
           Himpunan Hukum Islam  
           Khusus Ibu .

JANGAN PISAHKAN AKU DENGAN ANAK KU ( I ) ...

  MEMISAHKAN IBU DENGAN ANAKNYA YANG MASIH KECIL Ulama sepakat ,

Memisahkan ibu dan anaknya yqng masih kecil hukumnya tidak boleh . ( Al-Ijma, ibnu mundzir, 
Hal.61, Al-Mabsuth: 13/139 )

1. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari, 
Ia menuturkan , " Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda , Allah akan memisahkankannya dengan orang-orang yang ia cintai pada hari kiamat .

2. Diriwayatkan dari Abu Musa , ia berkata , " Rasulullah SAW melaknat orang yang memisahkan antara ibu dan anaknya " . ( HR Ibnu Majah didlm sunannya) 

3. Diriwayatkan dari Abu Bakar , Rasulullah SAW bersabda , " Janganlah seorang ibu dibuat sedih ( karena dipisahkan ) dengan anaknya " 

4. Masa kanak-kanak merupakan salah satu sebab timbulnya kasih sayang . Rasulullah SAW bersabda , " Siapa yang tidak menyayangi anak kecil diantara kami dan tidak mengetahui hak orang besar diantara kami  , ia bukan golongan kami " 

Memisahkan ibu dengan anak artinya mengabaikan kasih sayang. Karena itu makruh hukumnya . ( Bada'i Ash-Shana'i : 5/229 ) 

Dalil berikut juga bisa memperkuat pendapat ini , bahwa memisahkan ibu dengan anak akan membahayakan keduanya . 
Dan segala tindakan yang membahayakan hukumnya terlarang menurut syariat .

Semoga bermanfaat ...

Minggu, 24 Januari 2016

IZINKAN AKU HIDUP DEMI ANAK KU ...






Ibu adalah manusia termulia dalam pandangan anak . Allah pun menempatkan  kedudukan Ibu lebih tinggi dibanding Ayah. Dalam pandangan banyak orang , ibu pun sering diidentikkan dengan kasih sayang.
Identifikasi ini menggambarkan Ibu adalah sumber kedamaian bagi anak-anaknya.
Maka carilah kedamainan sekaligus kebahagian hidup dari Ibu. inilah mengapa setiap orang berkesimpulan bahwa jika ingin hidup bahagia dunia akhirat , BERBAKTILAH KEPADA IBU DAN JANGAN SEKALI-KALI MENYAKITI HATINYA .

Ada sebuah dilema sikap anak :

Tidak mengakuinya sebagai ibu serasa tidak mungkin .
Namun mereka merasa sangat malu punya ibu seperti yang tak diharapkan. Tentu anak-anak menaruh perasaan kecewa, benci , malu dan perasaan-perasaan lain yang menyakitkan hati .
Namun disisi lain mereka juga tidak bisa membohongi nuraninya bahwa wanita yang telah melahirkannya itu
, adalah IBU KANDUNGNYA ...


Ketika Al Quran menggambarkan betapa hati seorang ibu
Akan bahagia jika bertemu dengan anaknya setelah sekian lama tidak bertemu, lagi-lagi Al Quran , ALLAH berfirman :

" Maka kami mengembalikanmu kepada Ibumu ( ummika ),
Agar senang hatinya dan tidak berduka cita "
( QS. THAHA : 40 )


Sosok ibu dilukiskan Al Quran adalah sosok wanita pejuang yang senantiasa mengorbankan apa saja demi kebahagiaan anak-anaknya .
Pengorbanan seorang ibu tiada pamrih dan tiada mempedulikan apa-apa , termasuk tidak menpedulikan diri sendiri.walau harus nenghinakan dirinya sendiri.

Segala yang dipunyai ibu akan diberikan cuma-cuma demi memperjuangkan anak.
Hal ini dilakukan ibu karena dalam hati ibu telah tertanam cinta kasih yang begitu tulus dan tanpa pamrih thd anak-anaknya.

Meski sama-sama punya cinta kasih thd anak , pengorbanan yang diberikan seorang ibu tidaklah sama dengan pengorbanan yang di berikan seorang Bapak .

Inilah mengapa anak tetap diwajibkan  untuk memperlakukan baik kepada ibunya meski sang Ibu buruk kelakuannya.
Adapun untuk kepatuhan , sekali lagi perintah dan kebijakan ibu tidak mengajak pada maksiat kepada ALLAH ,
Anakpun WAJIB mentaatinya.

Pendek kata , pengorbanan dan perjuangan Ibu tidak dapat ditebus oleh Anak .

Atas dasar inilah mengapa ALLAH menekankan berbakti kepada Ibu .
Dan atas dasar inilah pantas jika surga bagi anak itu ' diletakkan '  dibawah kaki Ibu bukan diletakkan dibawah telapak kaki ayah .


Nasehat bagi diri ku juga kalian
Semoga bermanfaat .

Sabtu, 23 Januari 2016

IA ADALAH IBU MU .. BAGAIMANAPUN JUGA ...

Kembali kita renungkan ayat Allah berikut  : 

" Dan kami perintahkan kepada manusia ( berbuat baik ) kepada ke 2 orang ibu bapaknya . ibunya telah mengandungnya dlm keadaan lemah yg bertambah-tambah , dan menyapihnya dlm 2 tahun .Bersyukurlah kepada-KU dan kepada ke 2 orang ibu bapakmu, hanya kepada AKU-lah kembalimu . Dan jika ke 2 nya memaksamu utk mempersekutukan dengan AKU , sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu , maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya didunia dgn baik , dan ikutilah jalan orang yg kembali kepada KU , kemudian hanya kepada-KU lah kembalimu, naka KU-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan " 
( QS.Luqman : 14-15 ) 


Ayat diatas mengajarkan bagaimana keputusan anak jika harus berhadapan dengan perintah orang tua yg melanggar aturan agama . 
ALLAH dengan tegas menyatakan bahwa jika orang tua mengajak utk memusyrikan ALLAH, maka anak wajib tidak taat , dgn tetap hrs berbuat baik kpd orang tua dlm hal-hal yg lain.

Tidak selamanya anak salah. Juga tak selalu orang tua benar.

Biasanya anak tak mau di salahkan. Apa yang ia perbuat selama ini adalah nerupakan reaksi balik dari apa yg dilakukan orang tua terhadapnya.
Sebagai protes ats tindakan orang tua yg ia nilai salah. 

Namun , 
Sejauh apa kesalahan seorang ibu , ia tetaplah orang tua kita. Sejahat apapun perlakuan ibu, ia adalah seseorang yg nengandung diri kita, melahirkan kita, menyusui dan merawat kita sampai kita besar. 

Sekali lagi , seburuk apa saja perangai ibu, ia adalah wanita yang punya jasa besar dalam kehidupan kita .

Secara tektual ayat diatas menjelaskan tentang perbedaan aqidah anak dengan orang tua.
Dlm hal aqidah anak wajib berbuat baik kpd orang tua sekaligus masih tetap harus berbakti kepada keduanya dalam hubungan kekeluargaan. 

Anak harus bisa menjaga kebaktiannya kepada orang tua. Kalaupun anak benci kepada salah satu dari keduanya, maka kebencian itu harus di alamatkan  kepada kelakuan buruknya, 
Bukan kepada orangnya secara personal .

Al Qur'an adalah sebuah contoh bahwa saat kita dihadapkan oleh tindakan buruk orang tua, kita tetap diperintahkan untuk menjaga hubungan baik kepada mereka.

Meski hati kita tidak bisa menerima kenyataan tersebut, kita di perintahkan untuk tetap bersabar dengan menganggap orang tua sebagai seseorang yang harus dihormati . 


Nasehat buat diri ku  sendiri ...
Semoga bermanfaat , Aamiin.



Jumat, 22 Januari 2016

IBU JUGA MANUSIA .....

Bagaimanapun ibu adalah manusia biasa . 


Kenyataan inilah yang membawa ibu pada sebuah kewajaran , 
Jika melakukan tindakan salah .
Ibu bukanlah seorang dewi yang bersih 
dari kesalahan.
Ibu pun bukan malaikat yang suci dari dosa. 
Ibu tetaplah ibu yang seorang manusia dimana 
ia masih memungkinkan untuk berbuat salah 
sebagaimana manusia-manusia lain , 
termasuk kita sendiri.
Jadi , 
Rasanya tidak adil jika kita tidak mau 
menerima kesalahan ibu , sementara kita sendiri masih bisa , mungkin atau bahkan 
sering melakukan kesalahan yang sana. 

Selama ini yang sering membuat hati anak 
tidak bisa menerima kesalahan ibu adalah 
Anak selalu memposisikan ibu sbg ' Public figur '  yang seharusnya bisa di hormati dan 
dikagumi.
Persepsi inilah yg menbuat kita selalu nenuntut agar ibu bisa memberikan teladan 
Yg baik bagi anak-anaknya .

Persepsi inilah yg selalu membuat hati anak menolak dan berontak jika ibu melakukan 
Dosa yg tak wajar dilakukan oleh seseorang yg berstatus sebagai seorang ibu .
Padahal sebagai manusia biasa ibu bukanlah 
Nabi yang terjaga dari lerbuatan salah .

Allah SWT berfirman : 

" Sesungguhnya manusia diciptakan berisi 
Keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila 
Ia mendapatkan kebaikan, ia amat kikir " 
(QS.Al Ma'aarij : 19-21)

Inilah salah satu contoh konkrit betapa seorang ibu yg berstatus sbg manusia masih 
Bisa melakukan salah karena sifat dasarnya 
Tdk bisa mengelak dari kesalahan. 

Makanya jangan heran jika melihat ibu sering 
Uring-uringan / ngomel dgn kenakalan anak-anaknya atau dgn kondisi rumah tangga yg 
Kurang pas menurut ukuran pikirannya .

Berpijak dari kenyataan ini lah dapat dipastikan bahwa saat seorang ibu melakukan kesalahan besar , hingga anak-anaknya menjadi tak simpati lagi kepadanya. Dalam hati ibu selalu 
Menangis.

Tak ada satupun ibu di dunia ini yang melakukan kesalahan lalu ditinggalkan oleh anak-anak akan merasa senang . 
Justru sebaliknya hati ibu akan tersayat-sayat melihat kenyataan bahwa anak-anaknya kini tak mau lagi mengakui sbg ibunya. 
Meskipun semua itu bukan kesalahannya .


Atas dasar inilah maka Nabi sendiri 
Mendefinisikan dosa adalah  : 
  
" Dosa adalah sesuatu yang mengganjal 
Di dalam hati mu dan kamu benci jika diketahui oleh orang lain "

ANAKKU ...


ANAKKU, INGATLAH SELALU PESAN NABIMU


Wahai anakku…

Ibumu hanyalah manusia biasa yang tak memiliki apa-apa kecuali secuil ilmu yang diperoleh dari baca-baca buku,
Mendengarkan ceramah ustadz saat pengajian ibu-ibu,
Membaca artikel ilmiyyah yang bermanfaat bagi diri ibumu.

Ibumu bukanlah seorang ustadzah yang berilmu,
Bukan pula hafidzah yang hafal berlembar-lembar juz Al -Qur’an yang Allah turunkan sebagai wahyu.

Namun begitu wahai anakku…
Itu semua tidaklah menghalangi ibumu terus berusaha sekuat tenaga mendidikmu agar selalu diatas cahaya petunjuk Rabbmu.

Agar engkau kelak menjadi manusia yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat kebanyakan hati manusia membatu…
Tak lagi peduli mana halal mana haram ….
Mana perintah mana larangan…
Yang ada hanya satu yaitu tunduk dan patuh kepada hawa nafsu.

Untuk itu wahai anakku…
Hiasilah hari-harimu dengan pesan Nabimu agar terkumpul pahala padamu pahala menaati Sunnah Nabawiyah yang mulia dan pahala menaati ibumu ini…

Anakku…

Saat engkau menyisir rambutmu, meminyakinya, merapikannya,ingatlah pesan Nabimu,

“Siapa saja yang memiliki rambut hendaknya ia memuliakannya.” (HR. Abu Dawud)

Wahai anak lelakiku…

Saat engkau memakai minyak wangi ingatlah sabda junjunganmu shallallahu’alaihiwasallam,

“Perkara yang kucintai dari dunia kalian adalah minyak wangi dan wanita. Dan dalam shalat dijadikan penyejuk mataku.”
(HR. An Nasai No. 939. Dinilai shahih oleh Al Hakim, Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi)

Wahai anak perempuanku…

Saat engkau kenakan jilbabmu,
Kenanglah selalu perintah Rabb yang menciptakanmu,

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al Ahzab: 59)

Anakku…

Saat engkau pergi ke sekolah, pergi ngaji, pergi les, pergi ke TPA (Tamam Pendidikan Al Qur’an), pergi ke madrasah atau hanya sekedar pergi belajar kelompok bersama temanmu…
kenanglah selalu khabar yang disampaikan baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Anakku…

Ibumu akan berusaha selalu tersenyum untukmu dan ibumu berharap engkaupun selalu demikian saat berjumpa dengan ayahmu, saudara kandungmu dan kawan-kawanmu.
Karena senyum diwajahmu tak perlu modal beribu-ribu, berjuta-juta atau bahkan bermilyar-milyar namun engkau mampu meraih pahala sedekah yang tak kalah banyak.

Itulah janji Rabbmu yang disampaikan melalui lisan Rasul mulia a’alihishsholatu wassalam,
“Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. At Tirmidz 1956. Dinilai shahih oleh Al Albani)

Wahai anakku…

Jika engkau berbicara, bicaralah yang baik. Namun jika tidak, diamlah…
Jangan engkau lewatkan begitu saja pahala sedekah yang akan mengalir di setiap kalimat baik yang keluar dari mulutmu…

Ingatlah sabda junjungan kita, Muhammad shallallahu’alaihi wasallam,
“Dan kalimat yang baik baik termasuk sedekah.”
(HR. Bukhari No.2989)

Wahai anakku...

Diam itu juga perintah Nabimu…
“Hendaknya bicaralah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wahai anakku..

Ibumu senantiasa menyuapimu karena engkau anak kecil yang tak mampu beraktifitas seperti halnya orang dewasa…
Engkau manusia lemah yang butuh pertolongan..
Karena itu Ibumu berharap mendapat pahala berlimpah di setiap suapan yang masuk ke mulut mungilmu untuk membantumu bisa makan…

Rasul kita yang mulia shallallahu’alaihi wasallam mengkhabarkan,

“Engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah.” (HR. At Tirmidz 1956. Dinilai shahih oleh Al Albani)

Wahai anakku…
Sayangilah adik-adikmu dan saudara-saudaramu yang lebih kecil..
Hormatilah bapak ibumu, kakak-kakakmu, guru-gurumu dan tetangga-tetangga kita yang lebih tua..
Bukankah engkau ingin menjadi golongan dari Nabi Muhammad SAW ...

Nasehat bagi diriku juga kalian
Semoga manfaat ..